Bacaini.id, TULUNGAGUNG – Masyarakat etnis Tionghoa di Tulungagung ternyata sudah ada sejak ratusan tahun silam. Alasan kedatangan mereka tentu saja untuk mengubah nasib melalui sektor perdagangan.
Penulis buku Babad Tulungagung, Agus Ali Imron menceritakan etnis Tionghoa pertama kali masuk ke Tulungagung pada tahun 1846. Mereka datang melalui jalur Sungai Brantas yang terhubung dengan Sungai Ngrowo Tulungagung.
“Jadi etnis Tionghoa masuk ke Tulungagung melalui transportasi sungai. Mereka datang dari Kediri mengunakan transporatasi sungai,” kata Agus kepada Bacaini.id, Kamis, 8 Desember 2022.
Menurut Agus, etnis Tionghoa datang ke Tulungagung untuk berdagang dengan membawa tiga komoditi unggulan berupa kopi, garam dan minyak. Bahkan melalui politik dagang ini mereka bisa leluasa berdagang meski saat itu Indonesia masih dalam masa penjajahan kolonial Belanda.
“Melalui komoditi yang dibawa, etnis Tionghoa bisa hidup berdampingan dengan Belanda,” terangnya.
Agus menyebut, pada masa itu, pusat perdagangan etnis Tionghoa berada di dekat Sungai Ngorowo, yang saat ini berada di kawasan Pasar Wage, Tulungagung. Bahkan kawasan itu juga menjadi pusat keberadaan mereka di Tulungagung.
“Dulu kawasan Pasar Wage merupakan tempat keberadaan gudang kopi, garam dan minyak masyarakat etnis Tionghoa. Kawasan tersebut sudah banyak berubah menjadi pertokoan yang sampai sekarang juga masih dihuni mayoritas masyarakat etnis Tionghoa,” paparnya.
Dijelaskannya, setelah 20 tahun berjalan atau sekitar tahun 1864, untuk pertama kalinya masyarakat etnis Tionghoa mendirikan sebuah klenteng bernama Tjoe Tik Kiong. Klenteng tersebut berhadapan langsung dengan Sungai Ngrowo yang masih satu kawasan dengan Pasar Wage, pusat perdagangan etnis Tionghoa di Tulungagung.
“Saat ini usia Klenteng Tjoe Tik Kiong berkisar 176 tahun. Di mana klenteng tersebut menjadi pusat ibadah etnis Tionghoa di Tulungagung,” tuturnya.
Selain perdagangan, masyarakat etnis Tionghoa juga menggunakan kebudayaan untuk dapat membaur bersama masyarakat lokal. Diantaranya kesenian barongsai dan wayang potehi yang sampai saat ini masih dapat dijumpai.
“Bahkan ketika Imlek, masyarakt etnis Tionghoa juga membagikan sembako kepada tetangga sekitar. Budaya itu masih jalan sampai sekarang,” imbuhnya.
Sementara itu, salah satu warga etnis Tionghoa di Tulungagung, Liem Giok Bien menambahkan, masuknya masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia khususnya di Tulungagung bertujuan untuk mengubah nasib. Pasalnya, domisili asli mereka sudah padat, sehingga mau tidak mau mereka harus pindah.
“Kalau dalam cerita keluarga, orang etnis Tionghoa pertama kali masuk ke Indonesia itu sudah campuran antara etnis cina dan jawa. Sedangkan saya ini sudah keturunan ke-4, jadi sudah banyak campuran dari etnis aslinya,” ujarnya.
Pria yang juga akrab dipanggil Kuwato itu mengungkapkan, marga Tionghoa akan tetap terjaga dari anak laki-laki keturuanan mereka. Sedangkan marga Tionghoa akan hilang jika anak turun mereka perempuan.
“Marga ini simbol penerus etnis Tionghoa. Sedangkan yang dapat meneruskan marga hanyalah anak turun laki-laki,” pungkasnya.
Penulis: Setiawan
Editor: Novira
Comments 1