Bacaini.id, KEDIRI – Dua puluh lima tahun lalu Siti Rukayah adalah seorang asisten rumah tangga. Kini dia menjadi pengusaha kaya yang memiliki 100 orang karyawan.
Perjalanan hidup Siti Rukayah tak ubahnya roller coaster. Jauh sebelum menjadi pengusaha sukses di bidang tenun ikat, Siti Rukayah adalah seorang asisten rumah tangga. Dia bekerja menjadi pembantu di Arab Saudi dengan beban pekerjaan tak ringan.
“Saya berangkat ke luar negeri saat terjadi krisis di Indonesia. Cari pekerjaan di sini sulit,” kata Siti Rukayah kepada Bacaini.id.
Keputusan menjadi buruh migran diambil setelah usaha pembuatan tenun ikat yang ditekuni bersama suaminya, Munawar gulung tikar. Saat menikah dengan Munawar, mereka diwarisi usaha pembuatan tenun ikat oleh orang tua Munawar di Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Kawasan ini dikenal sebagai kampung tenun karena banyak warga yang menjadi penenun dengan beragam produk. Siti Rukayah dan suaminya memproduksi sarung.
Badai krisis moneter yang terjadi di Indonesia tahun 1997 meluluh lantakkan usaha mereka. Seluruh usaha tenun di kampung itu gulung tikar. “Begitu tenun macet, saya nyales (jualan keliling) kosmetik ke daerah pegunungan untuk makan,” kata Siti.
Namun lagi-lagi usaha itu tak berlangsung lama. Hasil yang didapat tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Saat itulah Siti memberanikan diri pamit kepada suaminya untuk bekerja di luar negeri.
Keinginan itu tak langsung disetujui Munawar dengan alasan anak mereka masih berusia empat tahun. Apalagi Munawar banyak mendengar kisah tentang nasib buruh migran yang mengalami siksaan dan pelecehan seksual oleh majikan.
Setelah melalui perdebatan berhari-hari, Munawar tak bisa menahan keinginan Siti untuk merantau. Melalui seorang agen yang berkantor tak jauh dari rumah mereka, Siti mendaftar dengan tujuan Arab Saudi.
Negara itu dipilih karena Siti cukup menguasai Bahasa Arab. Sebelum menikah, Siti sempat mengenyam pendidikan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) setara Diploma II dan menyukai Bahasa Arab.
Meski telah membulatkan tekad meninggalkan tanah air, namun perpisahan dengan suami dan anaknya yang baru saja masuk sekolah Taman Kanak-Kanak terasa sangat berat. “Saya pergi saat anak saya berangkat sekolah,” kenang Siti sambil meneteskan air mata.
Kontrak kerja selama dua tahun di Tabuk, Arab Saudi terasa sangat lama bagi Siti. Apalagi delapan bulan pertama dilalui sendirian lantaran sang majikan tak pernah menyampaikan surat-surat yang dikirim suaminya dari Indonesia. Siti diminta fokus menjaga tiga anak mereka yang masing-masing berusia 2 tahun, 4 tahun, dan 8 tahun. Ditambah dengan kewajiban membersihkan rumah yang tak kecil.
Celakanya, apa yang dikhawatirkan suaminya terbukti. Siti Rukayah mulai mendapat perlakuan tak menyenangkan dari majikannya. Selain menahan surat yang dikirim dari Indonesia, tak jarang majikan laki-lakinya mengancam akan menembaknya dengan senjata api.
Saat itulah Siti Rukayah memutuskan untuk kembali ke tanah air. Dia merasa uang hasil bekerjanya sudah cukup untuk membiayai hidup di kampung halaman. Selain mengirimkan uang ke Indonesia, Siti Rukayah juga menabung sebagian gajinya di sana.
Belum genap dua tahun bekerja sesuai kontrak, Siti Rukayah pulang ke tanah air. Kepulangannya itu sempat mendapat cibiran warga karena tidak membawa apa-apa. Saat itu sudah menjadi kebiasaan buruh migran untuk membeli benda mewah ketika pulang kampung. “Saya justru membeli benang dalam jumlah banyak,” kata Siti Rukayah.
Benang itu akan menjadi amunisi untuk menggerakkan kembali empat unit mesin tenun yang mangkrak. Dengan ketelatenan dan keuletan, Siti Rukayah berhasil membangun kembali usahanya yang sempat mati.
Saat ini usaha yang diberi label Medali Mas berkembang pesat. Jumlah karyawannya mencapai lebih dari 100 orang. Medal Mas menjadi pionir kampung tenun ikat yang menjadi ikon industri Kota Kediri.
Lima tahun lalu penghasilan Siti Rukayah tercatat Rp300 juta per bulan. Kini dia tak pernah lagi membeberkan omzetnya yang diperkirakan terus bertambah.
Penulis: HTW
Tonton video: