Bacaini.id, KEDIRI – Hari itu aku memilih berdiam di rumah. Bermain dengan anak-anak dan mencicipi masakan istriku.
Hampir dua pekan aku meninggalkan rumah sejak pagi hingga malam. Erupsi Gunung Kelud benar-benar membuat semua orang kelelahan. Begitu petugas pos pantau Gunung Kelud menaikkan status gunung berapi itu dari Waspada ke Siaga pada 2 Februari 2014, setiap hari aku menyusur jalan sejauh 30 kilometer dari rumahku di Kecamatan Mojoroto Kota Kediri menuju pos pantau Kelud di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri.
Media tempatku bekerja menginginkan laporan tentang aktivitas Gunung Kelud dari hari ke hari. Meski bukan petugas vulkanologi ataupun badan penanggulangan bencana, aktivitasku tak kalah dengan mereka. Memantau pergerakan seismograf di lantai atas Pos Pantau, melihat kesiapan evakuasi warga oleh pemerintah, hingga menghitung potensi kerusakan jika Kelud benar-benar meletus.
“Letusan kali ini akan besar, bisa mengangkat dan menghancurkan kubah lava yang naik pada erupsi tahun 2007. Pandai-pandailah mengatur energi, karena ini akan jadi cerita panjang,” kata Khoirul, Kepala Pos Pantau Gunung Kelud saat ngobrol di ruang kerjanya.
Berdalih mengikuti saran Khoirul, hari itu aku sengaja tidak naik ke Kelud. Berdiam di rumah sambil mereparasi sepeda motor matic yang kelelahan. Meski berada di rumah, aku tetap bisa memantau setiap pergerakan di sana melalui telepon. Jadi tenang saja, pikirku.
baca ini Photo Story Erupsi Kelud 2014
Selepas Maghrib notifikasi grup Blackberry Messenger mulai riuh. Semua orang membicarakan gelombang warga yang mulai diungsikan oleh petugas. Aku masih bertahan di rumah, mengikuti setiap pergerakan sambil memetakan situasi.
Pesan Khoirul kembali terlintas. Aku harus pandai mengatur irama jika tak ingin kehabisan energi. Ini akan jadi cerita panjang.
Kubuka telepon genggam, memastikan seluruh kontak pihak yang bertanggungjawab ada. Mulai polisi, TNI, BPBPD, petugas vulkanologi, kepala desa, warga, hingga pemilik warung yang tiap hari kuhampiri usai liputan. Semua ada, aman.
Menjelang pukul 20.00 WIB, beberapa pesan dari redaksi di Jakarta masuk. Mereka mendengar informasi dari PVMBG Bandung tentang potensi letusan Kelud yang sebentar lagi terjadi, dan memintaku bersiap memberikan laporan cepat (breaking news). Aku masih tenang, duduk di depan televisi yang menyiarkan secara langsung suasana di sana. Gambaran situasi ini sangat penting untuk menentukan langkah taktis di sana.
Meliput bencana tak seperti mereportase unjuk rasa atau peresmian gedung pemerintah. Larut dalam kepanikan juga tak akan menghasilkan informasi yang kredibel. Karena itu aku memilih untuk tetap mengawasi situasi.
“Gak berangkat? Semua temanmu sudah sibuk di sana,” kata istriku melihat aktivitas wartawan yang hilir mudik melalui layar televisi. Aku hanya mengangguk sambil terus memandang televisi.
Sampai akhirnya momentum itu tiba. Sebuah stasiun televisi mengumumkan terjadinya erupsi Gunung Kelud pada 13 Februari 2014, pukul 22.50 WIB. Belum hilang kagetku, terdengar suara hujan di luar rumah. Aku menduga sedang terjadi hujan deras. Suaranya keras menimpa atap.
Tebakanku meleset. Aku tak mendapati setetespun air hujan di luar rumah. Namun suara yang jatuh persis sekali dengan hujan deras. Kubuka pintu gerbang dan berlari keluar. Ya Allah, ternyata ini hujan pasir. Hamparan pasir dengan cepat mengubur jalan dan paving depan rumah. Letusan ini benar-benar dahsyat.
Usai melaporkan peristiwa itu ke redaksi, aku bersiap menuju lokasi. Mengenakan jaket tebal dan sepatu, aku pergi mengendarai motor matic yang baru saja kureparasi. Lampunya agak redup, sial.
Malam itu suasana kota terlihat lengang. Tak ada aktivitas apapun di jalanan. Hujan pasir yang turun dengan deras menutup jarak pandangku sangat pendek. Pelan-pelan kutarik gas sepeda motor agar tak menabrak.
Baru mencapai satu kilometer tiba-tiba motorku tergelincir. Aku terjatuh. Baru kusadari jika tumpukan pasir di jalan sudah sangat tinggi. Kembali kukendarai motorku pelan-pelan, menembus hujan pasir yang pekat diiringi kilat yang menyambar.
Malam itu menjadi perjalanan yang panjang menuju Kelud. Meski setiap hari kulewati, namun suasana letusan membuat seluruh kota tampak mati. Semua tertimbun pasir. Tak ada yang lalu lalang selain satu dua kendaraan. Semua orang berlindung di dalam rumah sambil berdoa.
Tak terhitung berapa kali aku terjatuh dari sepeda motor. Tekukan jalan kulalui dengan mengandalkan insting dan pengalaman. Beberapa orang yang nekat berkendara juga berjungkalan di jalan, sama sepertiku.
Petaka kian bertambah saat memasuki Kecamatan Ngancar. Semua jalan gelap. Tak satupun lampu penerangan yang hidup. Entah karena rusak tertimpa material letusan atau sengaja dipadamkan demi keamanan. Aku benar-benar sendiri, menembus pekatnya hujan pasir dengan penerangan lampu minimalis.
Reportase ini benar-benar paling sulit. Lebih sulit dibanding meliput banjir bandang di Trenggalek yang menewaskan 15 orang tahun 2006, atau jatuhnya pesawat TNI AU Hercules C-130 di Magetan yang menewaskan 100 orang pada 20 Mei 2009.
Karenanya mencapai pos pengungsi di Kantor Desa Ngancar menjadi kebahagiaanku malam itu. Meski tak segera mengakhiri kesulitanku. Sinyal telepon hilang. Rusaknya infrastruktur pemancar menjadi penyebab putusnya komunikasi. Kesulitan yang sama dialami para jurnalis yang ada di sana. Mereka panik tak bisa membuat laporan ke redaksi.
Kubuka memori otakku, mengingat di mana letak konter penjual voucher di sana. Setelah ketemu, kuketuk pintu tokonya dan meminta informasi layanan provider yang masih menyala. Inilah pentingnya penguasaan medan dalam mereportase bencana.
Malam itu kulalui dengan menulis setiap peristiwa yang terjadi di depan mata. Tumpukan pasir di muka tak kuhiraukan. Semua hal kulaporkan, terutama kondisi para pengungsi yang menjejali kantor pemerintah dan gedung sekolah. Pemerintah harus tahu kondisi rakyat dengan sebenar-benarnya.
baca selanjutnya Letusan Kelud Seperti Bom Hiroshima
Penulis: Hari Tri Wasono
Tonton video:
Comments 1