Bacaini.id, BANGKALAN – Kisah pilu dialami Khusnul Hotimah, perempuan asal Desa Burneh, Kabupaten Bangkalan. Sudah tiga tahun dia tidak bisa beraktivitas normal pasca kecelakaan yang dialaminya pada Maret 2019 silam.
Saat itu hari masih subuh, Hotimah bersama sang suami Abdul Wahid berboncengan mengendarai sepeda motor hendak pergi ke pasar untuk kulakan sayur. Setibanya di jalan raya Tonjung, tepatnya di depan Mapolsek Burneh lama, pasangan suami istri itu ditabrak mobil pickup pengangkut ayam.
Akibatnya, wanita 31 tahun itu mengalami patah tulang ditangan kanan serta kaki dan paha sebelah kanan. Tak hanya itu, Hotimah harus kehilangan sang suami yang langsung meninggal dunia di lokasi kejadian.
Sepeninggal suaminya, Hotimah hidup bersama dua anaknya yang masih kecil. Akan tetapi dia tidak bisa merawat kedua anaknya dengan maksimal, lantaran patah tulang di bagian kakinya sampai saat ini belum juga sembuh. Proses penyembuhan ibu dua anak ini langsung ditangani di RS dr. Soetomo Surabaya.
“Operasi tulang tangan dan di bagian lengan dipasang pelatina, Alhamdulillah hasilnya sudah enak,” kata Hotimah kepada Bacaini.id, Kamis 3 Februari 2022.
Namun operasi dibagian kakinya lah yang hingga sekarang masih bermasalah. Pasca operasi ketiga pada tahun 2020 lalu, alat bantu patah tulang portabel yang dipasang di kakinya tak kunjung dilepas oleh petugas rumah sakit. Bahkan kondisi Hotimah saat ini semakin mengkhawatirkan, sebab kaki hingga pahanya semakin membengkak.
“Setelah operasi, lalu kaki saya dipasang besi (alat bantu tulang portabel) ini di paha. Tapi sampai sekarang belum dilepas oleh pihak rumah sakit,” ujarnya.
Padahal, Hotimah rutin melakukan kontrol ke rumah sakit. Dia pun selalu menanyakan kapan alat yang dipasang di kakinya itu bisa dilepas. Tapi jawaban dari pihak rumah sakit selalu sama.
“Katanya nunggu giliran. Terakhir bilangnya bulan Desember kemarin bisa dilepas, tapi sampai sekarang tidak ada kabar kelanjutannya,” keluhnya.
Bukannya tidak sabar menunggu. Sebagai seorang ibu sekaligus orang tua tunggal tentu saja Hotimah ingin segera sembuh dan kembali mengurus anak-anaknya.
Sedangkan sampai saat ini, untuk bergerak pun Hotimah masih kesulitan. Sehingga dia harus meminta bantuan keluarga terdekat untuk mengurus dan merawat kedua anaknya.
“Pengennya ya segera dilepas, terus berlatih berdiri tegak dan semoga bisa sembuh. Pengen bisa jalan lagi, kasihan anak saya, nyeri juga kalau terus seperti ini,” ratapnya.
Kondisi Hotimah dan kedua anaknya mengundang simpati dari anggota Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur, Mathur Khusairi. Dia mengaku prihatin atas pelayanan yang dilakukan pihak RS dr. Soetomo.
“Seorang korban kecelakaan yang mengalami patah tulang, harus pen, dengan rangkaian penyanggah di kaki sampek bengkak dan bisa bertahan sekitar 1 tahun lebih itu luar biasa. Saya tidak tahu secara medis, ortopedi itu, kapan semestinya pen dibuka, apalagi orang itu diperediksi sudah normal kondisinya,” ujar Mathur.
Dia menyarankan agar dokter yang menangani untuk aktif memantau kondisi pasien, bukan pasien yang harus terus pro aktif. Mathur mengaku baru saja mendapat kabar dari pihak keluarga bahwa Hotimah telah berupaya untuk kontrol secara rutin dan terus menanyakan jadwal melepas pem dan penyangga kakinya.
“Saya awam ilmu medis, tapi melihat dari lamanya pasien menjalani proses penyembuahan, saya merasa ini tidak wajar,” imbuh politisi Partai Bulan Bintang ini.
Pria asal Bangkalan ini miminta jajaran direksi RS dr. Soetomo untuk membenahi pelayanan dengan memberikan skala prioritas, mengingat rumah sakit milik Pemprov Jatim itu menjadi RS rujukan pertama bagi pasien di wilayah Jawa Timur.
“Jadi saya minta, mohon juga diperhatikan pasien dari Jatim, khusunya Madura,” pintanya.
Selain itu, Mathur juga meminta pihak RS. dr. Soetomo untuk menyediakan nomor antrean yang jelas dan terbuka untuk tindakan operasi yang bersifat darurat sehingga bisa diketahui khalayak publik.
“Jika nomor antrean tidak dibuka ke publik, nantinya kucing kucingan. Nanti malah ada arang punya jabatan, orang yang punya pengaruh, bisa menggeser antrean orang. Kalau transparan kan rasanya lebih adil, supaya semua orang, terutama pasien bisa memantau secara secara online,” tegasnya.
Tak hanya itu, alumni UIN Sunan Ampel Surabaya itu juga mendorong pihak rumah sakit untuk menyediakan call center yang secara cepat merespon pasien ketika melakukan konfirmasi.
“Saya dari dulu sudah pernah merekomendasikan, namun belum dilakukan oleh rumah sakit itu,” pungkasnya.
Penulis: Rusdi
Editor: Novira