Jauh sebelum wabah Covid 19, penduduk Nusantara sudah diuji berbagai wabah mematikan.
Bacaini.id, KEDIRI – Pandemi Covid 19 yang melanda seluruh belahan dunia mengingatkan serangan wabah kolera dan malaria. Meski merenggut ribuan orang, peradaban Nusantara tetap bertahan hingga sekarang.
Wabah kolera yang disebabkan kuman Vibrio Cholerae pertama kali masuk ke Jawa Tengah sekitar tahun 1821. Penyakit yang muncul dengan gejala muntah dan diare itu menyebar di beberapa daerah lain di Jawa.
Kolera disebut sebagai wabah pembunuh nomor satu di Hindia Belanda terutama Batavia pada masa itu. Penderita kolera akan mengalami kejang-kejang dan berakhir dengan kematian dalam beberapa jam setelahnya.
Buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia yang diterbitkan Departemen Kesehatan menyebut wabah kolera menyebar lebih cepat dibanding malaria, tipus dan disentri. Penularannya bisa melalui air minum, makanan dan kontak langsung dengan penderita.
Karena berdampak parah kepada masyarakat kolonial terutama di Batavia, perawatan dilakukan kepada masyarakat kelas sosial rendah yang rata-rata hidup di tempat tidak layak.
“Kondisi menyedihkan membuat perawatan itu menjadi pekerjaan yang tak tertahankan dan dapat dikatakan sangat menyengsarakan,” catat Roorda van Eysinga, pegawai kolonial urusan pribumi dalam Verschillende Reizen en Lotgevallen.
Periode terparah terjadi pada tahun 1910-1911 yang disebut sebagai ‘tahun kolera’. Wabah ini telah merenggut kurang lebih 10 ribu nyawa yang tersebar di seluruh Indonesia. Tahun kolera menjadi tahun dikenalkannya vaksin kolera, yang selanjutnya dilakukan vaksinasi massal pada tahun 1911.
Sempat hilang, kolera kembali menjangkiti masyarakat pada tahun 1920 dan berakhir pada tahun 1927.
baca ini Calonarang Ratu Pagebluk Dari Tanah Jawa
“Tidak menutup kemungkinan dinosaurus hilang karena wabah penyakit. Seperti juga terjadi di jaman kolonial Belanda, ada wabah kolera yang merenggut banyak nyawa,” kata Sigit Widiatmoko sejarawan dari Universitas Nusantara PGRI Kediri.
Selain kolera, wabah malaria juga terjadi pada jaman kolonial sekitar tahun 1714-1767. Penyakit yang diakibatkan gigitan nyamuk Anopheles sp itu telah menyebabkan 72.816 orang Eropa yang ada di Batavia meninggal dunia.
Malaria dapat diatasi melalui pengobatan dengan menggunakan getah dari pohon kina pada tahun 1638. Hingga pada tahun 1857, pemerintah Hinda Belanda mulai membudikayakan kina di pulau Jawa.
Mereka juga mendirikan pabrik di Bandung pada tahun 1896 serta mendirikan Biro Malaria tahun 1942. Pada saat itu pemerintah menugaskan para mantri malaria untuk memetakan penyakit dan melakukan penelitian terhadap nyamuk.
Sampai saat ini malaria masih kerap menjangkiti masyarakat di Indonesia, terutama di wilayah endemis.
Wabah mengerikan lain yang menjangkiti masyarakat Nusantara adalah PES atau Sampar. Wabah ini pertama kali melanda tahun 1911 di Malang Jawa Timur. Sekitar tahun 1916 penyakit ini telah merenggut 34 ribu jiwa atau 80 persen penduduk Kota Malang.
Dari situ wabah mulai menyebar ke Semarang, Jogjakarta, Surakarta, Surabaya, Batavia dan daerah lain di Hindia Belanda. Bahkan di Jogjakarta penduduk yang meninggal akibat terjangkit Sampar mencapai 4.335 jiwa. Diperkirakan korban jiwa di seluruh Pulau Jawa mencapai 185 ribu.
Penyebaran penyakit ini diduga akibat kutu tikus yang ditemukan pada beras impor asal Yangoon, Myanmar.
Penanggulangan penyakit Sampar dilakukan Pemerintah Hindia Belanda dengan cara menerapkan karantina wilayah, membakar tikus, merekonstruksi rumah dengan bahan tembok dan sosialisasi melalui poster.
Upaya lain dilakukan dengan vaksinasi dan DDT spraying hingga tidak ditemukan lagi pada tahun 1961.
Penulis: Novira Kharisma
Editor: HTW
Tonton video: