Dalam lafal Hokkian, Imlek (dibaca: im-lek) berarti kalender bulan atau kalender Tionghoa. Di negeri asalnya Tiongkok, kalender Tionghoa digunakan untuk memperingati berbagai hari perayaan tradisional, serta menentukan hari pernikahan atau pembukaan usaha.
Sebagian besar masyarakat Tionghoa juga menyebutnya sebagai kalender Agrikultur (nónglì). Penyebutan ini berasal dari cerita kuno yang mengaitkan Imlek dengan momentum ketika petani di China melakukan syukuran atas hasil pertanian mereka.
Semenjak datangnya etnis Tionghoa di Indonesia, perayaan Imlek setiap tahun juga diadakan dengan berbagai macam kegiatan. Seperti beribadah, kumpul keluarga, membuat kue keranjang, membersihkan rumah, mengenakan pakaian dan ornamen serba merah, membagikan angpao, hingga pertunjukan barongsai.
Perayaan tahun baru Imlek ini berlangsung selama 15 hari. Mengingat mayoritas Tionghoa-Indonesia adalah Hokkien, maka perayaan Imlek di tanah air berciri khas kelompok itu. Hingga kini Imlek menjadi kebudayaan yang diturunkan kepada anak cucu keturunan Tionghoa.
Kemeriahan Imlek yang diyakini telah berlangsung selama 3.500 tahun juga terasa di Kota Kediri. Salah satu tempat yang paling ‘sibuk’ dalam memperingati Imlek adalah Klenteng Tjoe Hwie Kiong di Jalan Yos Sudarso. Sejak H-7 atau tanggal 24 bulan 12 Imlek persiapan sudah dilakukan.
“Kami mengawali peringatan ini dengan melakukan ibadah Tongsen, yaitu sembahyang mengantarkan para dewa naik ke langit,” kata Ketua Yayasan Klenteng Tjoe Hwei Kiong, Prayetno Sutikno kepada Bacaini.id, Rabu, 26 Januari 2022.
baca ini Optik Tjiang Kisah Keluarga Naga di Kediri
Usai beribadah, pengurus klenteng membersihkan seluruh area tempat ibadah. Mulai dari meja altar, rumah altar, hingga mensucikan patung. Terdapat sekitar 70 patung yang berada di 16 altar mereka bersihkan. Kegiatan ini melibatkan tak kurang dari 30 orang, terdiri atas pengurus dan umat Klenteng Tjoe Hwei Kiong.
Pembersihan utama dilakukan pada patung Makco Thian Shang Sen Mu. Dia adalah tuan rumah Klenteng Tjoe Hwei Kiong yang merupakan Dewa Laut. Patung berwarna abu-abu yang menggambarkan sosok dewa bermahkota dan mengenakan jubah ini berdiri tegak menghadap ke arah sungai Brantas di sebelah barat. Di dekatnya terdapat sebuah tiang berwarna merah berisi panji-panji kebesaran Makco Thian Shang Sen Mu.
Dalam tradisi, budaya dan keyakinan Umat Tri Dharma, patung Makco merupakan dewi penolong atau dewi penyelamat. Karena itu keberadaan patung yang terbuat dari batuan asli Tiongkok itu diharapkan bisa membawa keselamatan di Kota Kediri.
Sebagai tuan rumah, penampakan Makco sangat menonjol. Berat patung itu mencapai 18,7 ton dengan tinggi 5 meter dan diameter 2 meter. Umat Tri Dharma sengaja mendatangkan patung Makco dari Buthien, Tiongkok, sebagai kota Thian Shang Sen Mu berasal.
Menurut Prayetno, patung Makco merupakan patung tertua yang ada di Klenteng Tjoe Hwei Kiong. “Makco ini usianya 205 tahun dan menjadi cagar budaya,” katanya.
Sutjahjo Gani, salah satu tokoh Tionghoa di Kota Kediri yang merupakan keturunan (cicit) pemilik penerbit legendaris Tan Khoen Swie menyebut perayaan Imlek tak ubahnya Hari Raya Idul Fitri yang dilakukan umat Islam. “Kami saling berkunjung ke rumah kerabat, makan bersama, dan berbagi angpao,” katanya.
Tradisi ini dilakukan setiap tahun oleh warga Tionghoa di Kota Kediri dengan beragam cara. Hanya saja perayaan yang melibatkan banyak orang seperti gelaran Barongsai, tak bisa dilakukan dengan semarak karena pandemi.
Lelaki kelahiran Kediri, 18 Januari 1963 yang berprofesi sebagai dokter gigi ini mensyukuri toleransi yang hidup di kotanya. Beragam agama dan aliran kepercayaan tumbuh berdampingan tanpa saling mengusik. “Sebelum pandemi saya masih aktif ikut kegiatan Macapat yang merupakan kebudayaan Jawa,” terangnya.
Sutjahjo Gani berharap keberagaman ini bisa terus hidup dan dirawat generasi muda di masa datang, sebagai wujud kemanusiaan yang sebenarnya.
Penulis: Hari Tri Wasono
Tonton video:
Comments 1