Bacaini.ID – Salah satu perupa yang berani terang-terangan berselisih dengan Bung Karno pada masa pra kemerdekaan Indonesia adalah Sindudarsono Sudjojono atau akrab dikenal dengan S Sudjojono.
Sudjojono memiliki rekam jejak berkesenian yang panjang. Pada tahun 1937, ia mendirikan Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia (Persagi), yang di dalamnya ada pelukis Ramli, Abdulsalam, Otto Djaja dan banyak lainnya.
Dalam perjalanan sejarah seni rupa Indonesia, para pelukis Persagi merupakan perintis seni rupa modern Indonesia. Aliran yang diusung mereka adalah antithesis dari aliran Mooi Indie.
Sudjojono dan Soekarno diketahui sama-sama bekerja untuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera), organisasi bentukan Jepang. Soekarno sebagai pimpinan Putera, di mana ada Bung Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan KH Mas Mansyur.
Sementara Sudjojono bekerja dengan pelukis Affandi, Dullah, Trubus, Handrio, Darso, dan Surono. Mereka menggawangi bidang kebudayaan, namun kerap bikin jengkel kolonial Jepang.
Soekarno dan Sudjojono memiliki hubungan yang sangat akrab, begitu juga dengan istri mereka, Fatmawati dan Mia Bustam yang diketahui bergaul begitu dekat.
Bung Karno pernah mengundang Sudjojono dan Mia yang masih pengantin baru untuk menginap di peristirahatannya di Puncak, Tugu, Bogor, bekas villa Profesor Reddingius.
Namun keakraban keduanya berantakan lantaran mempertengkarkan Basuki Abdullah, yang merupakan pelukis kesayangan Bung Karno.
Ceritanya, suatu ketika Bidang Kebudayaan Putera hendak menggelar pameran lukisan yang bertempat di bekas gedung sekolah kolonial. Sudjojono mendekorasi bagian gedung menjadi galeri yang artistik.
Sudjojono meminta sentuhan perupa muda Kartono Yudokusumo yang saat itu masih duduk di bangku SMT (Sekarang SMA).
Dalam kata pengantar katalog pameran Sudjojono menyebut bakat Kartono Yudokusumo begitu besar dan bakat itu sama besar dengan bakat yang dimiliki Basuki Abdullah.
Tahu namanya disamakan dengan Kartono, Basuki Abdullah jengkel dan mengadu kepada Bung Karno. Intinya, Basuki tak sudi disejajarkan dengan pelukis Kartono yang masih pemula.
Sudjojono dipanggil Bung Karno dan diminta menghapus kalimat dalam kata pengantar katalog. Apa reaksi Sudjojono? Ia menolak keras dengan alasan hanya berpendapat soal bakat yang sama besar.
“Saya tidak bicara tentang tekhniknya. Dalam hal tekhnik, tentu saja Kartono belum apa-apa dibandingkan dengan Basuki yang keluaran Rijksakademie Amsterdam,” kata Sudjojono seperti dikisahkan Mia Bustam dalam buku Sudjojono dan Aku.
Bung Karno tidak peduli dan tetap meminta kalimat itu dihapus dan Sudjojono kukuh menolak. Sebagai pimpinan Putera, Bung Karno memperlihatkan sikap “tangan besinya”.
Secara tegas Bung Karno memerintahkan kalimat itu dihapus dan Sudjojono membalas dengan sikap tidak kalah keras. “Lebih baik saya berhenti bekerja, daripada menyalahi pendapat saya mas!,” tegas Sudjojono.
Bung Karno pun mempersilahkan, dan Sudjojono seketika beranjak pergi dari hadapan Bung Karno.
Pameran lukisan sedianya tetap digelar dan Sudjojono berkomitmen tidak memperlihatkan diri. Pelukis Affandi dan Dullah keesokan harinya mendatangi Sudjojono.
Saat itu Sudjojono sedang asyik membuat pura kecil di taman rumah kontrakannya. Affandi dan Dullah mengaku diutus Bung Karno untuk membujuk Sudjojono kembali bekerja.
Sudjojono menegaskan dirinya lebih baik tinggal di rumah saja, apalagi ia tahu kalimat di kata pengantar di katalog sedianya tetap dicoret sesuai permintaan Basuki Abdullah.
Affandi yang melihat peran Sudjojono di Putera sebagai motor penggerak seni rupa meminta Sudjojono bisa bersikap lebih supel, luwes, tidak kaku. Apa jawaban Sudjojono?.
Ia menganggap hal itu sebagai sebuah prinsip yang tidak butuh keluwesan atau kesupelan dalam bersikap.
“Dalam urusan prinsip tidak ada supel-supelan!. Hitam atau putih. Kalian bisa saja jalan terus tanpa aku. Kan kita sama-sama tahu garisnya. Lagipula, kita kan masih bisa berbincang -bincang tentang soal-soal itu,” tegas Sudjojono seperti dikutip dari buku Sudjojono dan Aku.
Penulis: Solichan Arif